All about primary school. Fun and exciting to be listened to and studied

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 06 November 2017

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE (VCT)


PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE (VCT)

A.    Pengertian Model Pembelajaran Value Clarification Technique (VCT)
Pembelajaran adalah seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswa, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian ekstrim yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian intern yang berlangsung dialami siswa. Telah kita ketahui bersama bahwa Istilah “pembelajaran” mengandung makna yang lebih luas daripada “mengajar”. Pembelajaran merupakan usaha yang dilaksanakan secara sengaja, terarah dan terencana, dengan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan, serta pelaksanaannya terkendali, dengan maksud agar terjadi belajar pada diri seseorang.
Value Clarification Technique (VCT) adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan nilai.Djahiri (1979: 115) mengemukakan bahwa Value Clarification Technique, merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali atau mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari diri peserta didik.
VCT adalah sebuah semuah metode dalam model pembelajaran mediatif, VCT biasanya digunakan  khususnya untuk pendidikan nilai/ afektif. Dalam konteks pendidikan persekolahan di Indonesia istilah VCT sebenarnya sudah dikenal sejak berlakunya kurikulum 1975, yang diartikan sebagai “Teknik Pembinaan Nilai”. Dalam pembelajaran VCT dapat dikembangkan dalam berbagai cara yang tentunya telah diadaptasi dari Negara-negara barat. Beberapa diantaranya adalah model VCT dari Kohelberg yang terkenal dengan “Controversial Issues”, VCT model Hilda Taba yang terkenal dengan nama model “value Inquiry Question” dan kemudian Simon, dkk dengan 79 jenis model strategi klarifikasinya.
Teknik Mengklarifikasi Nilai ( Value Claification Technique ) suatu metode pembelajaran dengan teknik mengali untuk mengklarifikasi nilai, dengan tujuan memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan kajian bagi pencerahan suatu nilai dan moral untuk memperjelas sehingga siswa memahami merasakan kebenaran dan manfaat dari suatu nilai sehingga nilai-nilai tersebut menjadi mempribadi terintegrasi dalam sistem nilai pribadinya.
Teknik Klarifikasi Nilai (value clarification technique) adalah suatu metode dalam pembelajaran nilai dan moral, yang dikembangkan secara khusus dalam pendidikan nilai dan moral.

B.    Tujuan VCT
Tujuan model pembelajaran VCT, antara lain:
1.    Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.
2.    Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun negatif.
3.    Untuk menanamkan suatu nilai  kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima sebagai milik pribadinya.
4.    Melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat.

Pembelajaran VCT menurut A. Kosasih Djahiri (1992), dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena; pertama, mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral; kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan; ketiga mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata; keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya; kelima, mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan; keenam, mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang; ketujuh, menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.

C.    Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran VCT
1.    Kelebihan
Menurut A. Kosasih Djahiri Model ini dianggap unggul karena:
a.    Mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral
b.    Mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan.
c.    Mampu mengklarifikasi  dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata
d.    Mampu mengundang, melibatkan, membina, dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya,
e.    Mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan
f.    Menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.

2.    Kelemahan
Proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, yang artinya guru yang menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah ada tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa. Karena ketidakcocokan antar nilai lama yang sudah ada terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru.

D.    Langkah Model Pembelajaran VCT
John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan Value clarification technique (VCT) dalam 7 tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkat, setiap tahapan dijelaskan sebagai berikut.
1.    Kebebasan Memilih, Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu: (1) Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara penuh; (2) Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan secara bebas; (3) Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.
2.    Menghargai, Terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu; (1) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian dari dirinya; (2) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depan umum. Artinya, bila kita menggagap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya di depan orang lain.
3.    Berbuat, Pada tahap ini, terdiri atas 2 tahap, yaitu; (1) Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya (2) Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-hari.

E.    Metode yang Dapat Digunakan pada Model Pembelajaran VCT
1.    Diskusi
Metode ini bertujuan untuk tukar menukar gagasan, pemikiran, informasi/ pengalaman diantara peserta, sehingga dicapai kesepakatan pokok-pokok pikiran (gagasan, kesimpulan). Untuk mencapai kesepakatan tersebut, para peserta dapat saling beradu argumentasi untuk meyakinkan peserta lainnya. Kesepakatan pikiran inilah yang kemudian ditulis sebagai hasil diskusi. Diskusi biasanya digunakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penerapan berbagai metode lainnya, seperti: penjelasan (ceramah), curah pendapat, diskusi kelompok, permainan, dan lain-lain.
2.    Curah Pendapat (Brain Storming)
Metode curah pendapat adalah suatu bentuk diskusi dalam rangka menghimpun gagasan, pendapat, informasi, pengetahuan, pengalaman, dari semua peserta. Berbeda dengan diskusi, dimana gagasan dari seseorang dapat ditanggapi (didukung, dilengkapi, dikurangi, atau tidak disepakati) oleh peserta lain, pada penggunaan metode curah pendapat pendapat orang lain tidak untuk ditanggapi.
Tujuan curah pendapat adalah untuk membuat kompilasi (kumpulan) pendapat, informasi, pengalaman semua peserta yang sama atau berbeda. Hasilnya kemudian dijadikan peta informasi, peta pengalaman, atau peta gagasan (mindmap) untuk menjadi pembelajaran bersama.
3.    Bermain Peran (Role-Play)
Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk ‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap. Misalnya: menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan saran atau alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Metode ini lebih menekankanterhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.
4.    Wawancara
Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka.



Referensi

http://dhiarazha.blogspot.com/2012/06/model-pembelajaran-pkn-yang.html. Diunduh
pada 23 September
http://lusi1cpgsdust.blogspot.com/2013/11/inovasi-pembelajaran-pkn-dengan-model.html. Diunduh pada 23 September
http://wajito-hdy.blogspot.com/2014/02/pembelajaran-vct.html. Diunduh pada 23 September

SEJARAH PENDIDIKAN INKLUSIF


SEJARAH PENDIDIKAN INKLUSIF

Darimana asal Pendidikan Inklusif?
1.         Pengaruh terhadap Perkembangan Pendidikan Inklusif
Kajian terhadap dokumen-dokumen internasional dapat memberikan cerminan teoritis tentang perkembangan pendidikan dan inklusi selama beberapa dasawarsa terakhir ini. Bab ini akan menelaah bagaimana pengalaman praktis dalam pendidikan mempunyai pengaruh besar pada perkembangan Pendidikan Inklusif. Pendidikan Inklusif pada dasarnya merupakan produk perpaduan antara dua pergerakan pendidikan yang kuat, yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri.
Terkait dengan kedua pergerakan ini adalah faktor-faktor yang juga berpengaruh yang meliputi:
  • Lobby oleh para aktivis seperti organisasi penyandang ketunaan, kelompok orang tua dan kelompok-kelompok yang mempromosikan akses pendidikan bagi anak perempuan
  • Kegagalan sekolah reguler maupun sekolah luar biasa
  • Tekanan-tekanan baru terhadap sekolah seperti meningkatnya keberagaman akibat meningkatnya jumlah pengungsi dan orang-orang yang terlantar, HIV/AIDS, pertumbuhan penduduk, kesulitan dalam memberantas kemiskinan, dan meningkatnya situasi konflik
  • Program-program rintisan masyarakat seperti kelas melek huruf non-formal dan rehabilitasi berbasis masyarakat
  • Meningkatnya jumlah contoh keberhasilan praktek inklusi dalam berbagai budaya dan konteks.

2.         Peningkatan Mutu sekolah di Selatan
Satu aspek dari promosi tentang 'pendidikan dasar untuk semua’ adalah meningkatkan jumlah anak yang masuk sekolah - meningkatkan akses. Akan tetapi, sekedar memasukkan anak ke sekolah itu akan membuang waktu, energi dan sumber-sumber kecuali jika yang diberikan di sekolah itu benar-benar berguna, relevan bagi masyarakat, efektif dan memadai. Dengan kata lain, sekolah harus memberikan pendidikan yang berkualitas. Jika tidak, maka anak akan terus putus sekolah dan orang tua dan masyarakat tidak akan memprioritaskan pendidikan untuk anaknya. Sayangnya, sejumlah besar sekolah memberikan kualitas pendidikan yang buruk meskipun semua aktifitas yang mengatasnamakan “peningkatan mutu sekolah” berusaha meningkatkan kualitas pendidikan untuk semua anak.
Gambar : Peningkatan mutu sekolah di Selatan
Masalah­­­­­­­­­­­­­
Solusi
Pengajaran yang buruk, terlalu kaku, pelatihan dengan kualitas dan kuantitas yang buruk, tidak responsif terhadap kebutuhan anak.
Guru pendukung agar menjadi guru yang aktif dan reflektif: pada tingkat masyarakat, dalam pelatihan tingkat awal, dan dengan in-service training yang relevan dan berbasis daerah setempat.
Anak pasif-tidak didorong untuk belajar aktif. Kelas terlalu padat. Banyak yang tersisihkan dan putus sekolah.
Mengembangkan hubungan yang erat antara sekolah, rumah dan masyarakat, menggunakan metode partisipatori. Mendukung kelompok-kelompok masyarakat sipil.
‘Melek huruf’ dan keterampilan dasar tidak diajarkan secara memadai
Meningkatkan penggunaan metode mengajar yang berpusat pada diri anak dan cara belajar siswa aktif, melibatkan anak dalam menciptakan solusi.
Sekolah tidak relevan dengan kehidupan di masyarakat – tidak berkaitan dengan tantangan hidup yang sesungguhnya
Menciptakan sistem yang fleksibel yang mampu beradaptasi dan mengelola perubahan, dengan dukungan jaringan yang luas. Mengadaptasikan sistem dengan anak, bukan anak dengan sistem.
Sistem yang kaku dan tidak tepat, yang diwariskan dari jaman penjajahan dan disesuaikan dengan tuntutan pihak donor
Belajar dari keberhasilan proses pendidikan nonformal/informal. Membuat kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan menawarkan kesempatan yang lebih luas.
Tidak dapat merespon terhadap tekanan temporer: situasi konflik, pengungsi, melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin, HIV/AIDS
Melibatkan masyarakat, LSM dan pemerintah setempat dalam memperbaiki dan menciptakan infrastruktur yang memadai.
Kurangnya infrastruktur fisik: bangunan, materi; kurangnya akses ke fasilitas air dan sanitasi


Masalah-masalah yang mempengaruhi sekolah terkait erat dengan kemiskinan dan kesenjangan global yang berkepanjangan, hutang, konsekuensi kolonialisme2, dampak kebijakan penyesuaian struktural, sangat meningkatnya instabilitas, konflik dan penduduk yang terusir, serta epedemi HIV/AIDS. Namun ada peningkatan jumlah inisiatif yang mencerminkan respon kreatif terhadap masalah ini. Inisitif peningkatan mutu sekolah ini telah menghasilkan istilah – yang dibuat oleh Save the Children UK – “Sistem Sekolah yang Responsif” yang memiliki karakteristik sbb:
  1. inklusif, tanggap terhadap kebutuhan semua anak di masyarakat;
  2. memiliki sumber daya yang memadai, dengan sumber pembiayaan dari pemerintah dan donor dengan proporsi yang seimbang;
  3. menyediakan pendidikan berkualitas yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak.

3.         Peningkatan mutu sekolah di Utara
Di negara-negara di Utara, sekolah juga menghadapi makin banyak tekanan dan konflik, mengakibatkan semakin banyaknya eksklusi siswa, kurikulum yang terlalu membebani, guru mengalami stres dan prestasi siswa rendah. Di samping itu terdapat semakin banyak tantangan sehubungan dengan keberagaman kebutuhan siswa – siswa dari kaum minoritas linguistik dan etnis serta anak pengungsi, dan meningkatnya tekanan untuk menginklusikan anak dengan berbagai ketunaan.
Walaupun sekolah-sekolah di Utara mengeluh tentang kurangnya sumber-sumber daya, tetapi ini tidak dapat dibandingkan dengan kondisi kemiskinan yang parah di Selatan, di mana kurangnya sumber daya berarti kurangnya akses terhadap air, makanan, perumahan, dan bahan-bahan lainnya. Tetapi ada kesamaan masalah dalam hal eksklusi dan inklusi. Di Inggris, mereka yang terlibat dalam program peningkatan mutu sekolah telah mencoba mengatasi masalah ini selama beberapa dekade terakhir ini.
Sebuah proyek yang disebut Peningkatan Mutu Pendidikan untuk Semua telah menjadi ujung tombak reformasi selama dekade terakhir ini. Ini menekankan pada prinsip-prinsip berikut:
  1. mengembangkan visi sekolah yang kolaboratif
  2. memandang tekanan eksternal sebagai suatu kesempatan untuk mengatur ulang prioritas
  3. menciptakan kondisi bagi SEMUA anak untuk belajar
  4. mengembangkan struktur untuk kolaborasi dan pemberdayaan individu maupun kelompok
  5. mengembangkan tanggung jawab kolektif untuk monitoring dan evaluasi.

4.         Implikasi Peningkatan mutu sekolah terhadap Pendidikan Inklusif
Solusi yang diajukan pada bagian 2.2. dan prinsip-prinsip utama yang disebutkan di atas semua membangun linkungan dan kondisi yang diperlukan demi berhasilnya inklusi. Ini karena dalam kenyataannya, suatu sekolah yang tidak baik untuk SEMUA anak itu pasti tidak akan bagi anak penyandang ketunaan ataupun anak termarjinalisasi lainnya. Itu sebabnya inklusi bukan hanya mengenai "memasukkan" anak penyandang ketunaan ke dalam sistem yang kaku, bukan tentang cara mengadaptasikan anak dengan sistem, tetapi mengadaptasikan sistem dengan SEMUA anak.  Dengan membuat sistem sekolah benar-benar responsif terhadap anak sebagai anggota masyarakat, maka sistem sekolah itu juga pasti akan lebih mampu merespon terhadap anak penyandang ketunaan.
Jadi, bila suatu sekolah atau masyarakat melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk menginklusikan anak penyandang ketunaan dan berhasil, proses ini sering berfungsi sebagai cara untuk meningkatkan mutu sekolah. Guru harus terpusat pada anak, kurikulum harus fleksibel, masyarakat dan orang tua harus dilibatkan.

5. Pendidikan Kebutuhan Khusus di Utara
Istilah “kebutuhan khusus” dan “kebutuhan pendidikan khusus” sering dipergunakan tanpa definisi yang pasti. Di negara-negara Utara, istilah tersebut mulai sering dipergunakan pada tahun 1970-an. “Warnock Report” tahun 1978 menekankan bahwa 20% anak memiliki kebutuhan khusus tertentu pada suatu waktu di masa sekolahnya, dan anak-anak ini bersekolah di sekolah-sekolah reguler. Laporan tersebut juga menekankan pentingnya menggunakan istilah “anak berkebutuhan pendidikan khusus” daripada “anak cacat” atau istilah lain yang serupa. Awalnya ini merupakan gerakan yang positif, karena fokusnya bergeser dari karakteristik fisik anak ke kebutuhan pendidikannya. Tetapi sayangnya arti awal istilah ini hilang, dan istilah “khusus” dipergunakan sebagai label pada individu anak. Bahkan Mary Warnock, yang menyusun draft laporan tersebut kemudian menyayangkan penggunaannya:
“Konsep ‘kebutuhan khusus’ mengandung objektifitas yang semu. Karena salah satu kesulitan yang terbesar adalah menentukan kebutuhan siapa yang khusus itu atau apakah arti ‘khusus’ itu”.
UNESCO pada awalnya mendefinisikan pendidikan khusus sebagai pendidikan yang ditujukan pada para penyandang ketunaan. Dalam pernyataan Salamanca, istilah tersebut lebih sejalan dengan Warnock Report dan dipergunakan untuk mencakup tidak hanya anak penyandang ketunaan tetapi semua anak yang kebutuhannya muncul akibat ‘kesulitan belajar’.
Dalam kaitannya dengan anak penyandang ketunaan, istilah kebutuhan khusus sering membingungkan. Banyak anak penyandang ketunaan tidak memiliki kebutuhan pendidikan khusus – mereka mungkin membutuhkan alat bantu dan lingkungan yang aksesibel atau peralatan khusus untuk membantu mereka mengakses kurikulum umum, tetapi mereka sesungguhnya tidak memiliki kesulitan dalam belajar. Di pihak lain, ada banyak anak yang tidak memiliki ketunaan, tetapi mengalami kesulitan dalam belajarnya – tak dapat disangkal kita semua juga mengalaminya pada bidang tertentu pada waktu tertentu.

Rusia dan Eropa Timur: di negara-negara ini telah berkembang suatu model lain yang didasarkan pada model medis dan menghasilkan teori dan praktek defectology’. Pendekatan berbasis profesi medis ini masih memiliki pengaruh yang kuat di negara-negara yang sedang dalam masa transisi dari komunisme.

6.Pendidikan Kebutuhan Khusus di Selatan
Literatur tentang pendidikan anak penyandang ketunaan di "Selatan” relatif masih jarang dan isinya dapat menyesatkan:
“Pada umumnya, literatur tersebut lemah dalam hal reliabilitas dan relevansi data, memuat konsep-konsep yang tidak diakui dan tidak dikritisi dan bias budaya. Kesenjangan utamanya adalah dalam hal diskusi mengenai partisipasi, pengetahuan dan keterampilan lokal, sumber pengaruh dan evaluasinya. Secara keseluruhan, literatur tersebut didominasi oleh sekelompok kecil elit.”

Kebijakan dan praktek pendidikan khusus di sana telah diimpor dan diekspos oleh pihak donor, atau diperkenalkan oleh kaum elit dari negara tersebut yang memilih untuk meniru hal-hal yang dipraktekkan di Utara.
“Negara-negara Afrika, terlepas dari kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintahnya, pada dasarnya telah membiarkan pendidikan khusus mengikuti ‘hembusan angin’ yang ditiupkan oleh para pencetus ide dari luar”.
Meskipun maksudnya mungkin baik, tetapi pada prakteknya mengakibatkan bencana:
  • Menyingkirkan anak penyandang ketunaan dari sekolah reguler dan masyarakatnya
  • Memberi label berdasarkan hasil tes psikologi yang dikembangkan dunia barat (yang tidak dapat ditransfer secara budaya)
  • Pendirian sekolah khusus sering kali digunakan sebagai tempat pembuangan untuk anak; kurang sumber daya dan guru yang memiliki latar belakang pendidikan khusus
  • Pendirian sekolah khusus elit dengan sumber daya yang baik, yang hanya melayani sejumlah kecil anak, dalam konteks di mana hampir tidak ada infrastruktur dasar untuk pendidikan.
  • Menghapuskan sistem pendukung lokal dan menggantikannya dengan sistem pendukung ‘profesional’ yang tidak dapat bertahan lama.

Penulis dan peneliti seperti Joseph Kisanji dan Mike Miles banyak mengulas tentang praktek ‘customary education’ dan 'casual integration’, yang sering tidak hanya diabaikan tetapi juga dihapuskan akibat diterapkannya kebijakan dan praktek yang diimpor dari Barat. Di antara praktek-praktek lokal terdapat contoh-contoh berikut:
  • Anak penyandang ketunaan belajar di sekolah biasa
  • Tutor teman sebaya
  • Pendidikan lokal yang terdesentralisasi
  • Struktur yang fleksibel dan kurikulum yang relevan.

Di samping itu, di banyak masyarakat dan budaya, terdapat sejarah panjang tentang penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan kategori ketunaan tertentu, khususnya anak tunanetra.

7.         Pengaruh pergerakan Pendidikan Kebutuhan Khusus terhadap Inklusi
Banyak pencetus dan pejuang inklusi pada awalnya adalah pendukung kuat pendidikan khusus. Lambat laun mereka mulai menyadari keterbatasan dan kekurangan filosofi dan praktek pendidikan kebutuhan khusus. Namun, terdapat banyak pelajaran dan keterampilan positif yang dipelajari oleh mereka yang terlibat dalam pendidikan kebutuhan khusus yang berkualitas:
  • Pengajaran kreatif yang berfokus pada anak yang tanggap terhadap gaya belajar individu
  • Pendekatan holistik kepada anak, yang berfokus pada semua bidang kemampuannya
  • Hubungan erat antara keluarga dan sekolah, dan keterlibatan orang tua yang sangat aktif
  • Pengembangan teknologi dan peralatan khusus untuk memfasilitasi akses ke pendidikan dan membantu mengatasi hambatan belajar.

Banyak di antara hal-hal tersebut sejalan dengan ‘solusi’ terhadap tantangan peningkatan mutu sekolah. Di samping itu, keahlian khusus untuk memberdaayakan anak penyandang ketunaan untuk mengakses kurikulum atau mengembangkan keterampilan dasar belajar merupakan hal yang sangat penting bagi pengembangan Pendidikan Inklusif untuk SEMUA. Dalam konteks pendidikan inklusif, peran profesional pendidikan khusus bergeser dari peran guru menjadi nara sumber – yang memfokuskan pada penghapusan hambatan dalam sistem, bukan pada 'memperbaiki’ individu anak.
  
       8. Kelompok-kelompok Advokasi dan Kampanye Hak Asasi
Pergerakan Hak Asasi Penyandang ketunaan merupakan pergerakan yang relatif muda dibandingkan pergerakan -pergerakan hak asasi sipil lainnya. Tetapi terutama di negara-negara Selatan, misalnya di Afrika bagian selatan, organisasi penyandang ketunaan [OPC] semakin terorganisasi dan vokal selama beberapa dekade terakhir ini. Banyak di antara pemimpin pergerakan ini mengalami ketunaan sesudah dewasa atau telah memperoleh pendidikan dari sekolah khusus elit sebagaimana dibahas di atas. Dalam banyak hal, pergerakan penyandang ketunaan pada umumnya tidak memiliki kesamaan sikap terhadap Pendidikan Inklusif. Masih banyak penyandang ketunaan dan OPC yang tidak setuju dengan sekolah inklusif dan ingin terus mempromosikan pendidikan khusus, terutama di negara-negara Utara. Organisasi penyandang tunarungu dan tunarungu-netra mengemukakan isu yang sangat spesifik bila menyatakan keberatannya terhadap inklusi.
Banyak keberatan yang diajukan terhadap inklusi cukup dapat dipahami karena didasarkan pada pemahaman tentang inklusi yang sempit, yang memfokuskan pada memasukkan anak penyandang ketunaan ke dalam sistem yang kaku, tanpa memberikan akses yang sama untuk belajar atau tidak menyediakan sumber daya dan dukungan yang tepat. OPC khususnya di negara-negara Selatan sering kali berfungsi sebagai katalisator untuk pendidikan inklusif akibat lobbying yang dilakukan untuk membela hak-hak para penyandang ketunaan.
            Di Lesotho (Afrika bagian Selatan), Federasi Organisasi Penyandang ketunaan Lesotho (LNFOD) merupakan pembela yang kuat dan vokal untuk hak-hak penyandang ketunaan dan berperan besar dalam membantu melobi pemerintah untuk membuat kebijakan pendidikan inklusif. Dalam merintis program tersebut, LNFOD memberikan kontribusi dalam pengembangan kurikulum pendidikan guru dan memberikan in-service training dan melaksanakan program peningkatan kesadaran/sosialisasi.

Organisasi orang tua juga berpengaruh besar terhadap perkembangan Pendidikan Inklusif. Di negara-negara Utara, orang tua sering kali menjadi perintis yang paling radikal:
Di london (Inggris), satu orang tua anak penyandang Downs Syndrome menjadi ketua Komite Pendidikan lokal dan berhasil dalam kampanyenya untuk menutup semua sekolah luar biasa di daerahnya, yang dia gambarkan sebagai suatu ‘bentuk apartheid’. Wilayah ini kini merupakan salah satu daerah yang paling terkemuka dalam pendidikan inklusif di Inggris.
Di negara-negara Selatan, orang tua sering terjebak dalam lingkaran kemiskinan, isolasi dan tugas pengasuhan, yang menyisakan sedikit sekali waktu untuk berorganisasi, tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini telah terdapat peningkatan organisasi orang tua yang kuat yang memperjuangkan hak anak-anaknya agar diinklusikan di sekolah reguler.
Secara singkat, baik organisasi penyandang ketunaan maupun organisasi orang tua telah memberikan kontribusi pada perkembangan pendidikan inklusif sebagai berikut:
  • Mendesak agar inklusi didukung dengan sumber-sumber yang sesuai dengan kebutuhan;
  • Meningkatkan partisipasi aktif para penyandang ketunaan dan orang tua dalam pengembangan kebijakan dan praktek pendidikan;
  • Memperjuangkan hak anak penyandang ketunaan untuk bersekolah bersama-sama dengan teman-teman sebayanya dan tidak didiskriminasikan;
  • Adanya model orang dewasa yang positif.

Para Penyelenggara Kampanye Hak Anak. Ketika Konvensi Hak Anak PBB sudah diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia, muncullah berbagai pergerakan advokasi hak anak untuk mempromosikan inklusi dan mencegah diskriminasi di dalam sistem pendidikan. Para aktifis hak anak membentuk persekutuan yang kuat dengan pergerakan Penyandang ketunaan dan Orang tua.

9. Pengaruh Pendekatan Berbasis Masyarakat
Program Rehabilitasi Berbasis Masyarakat [RBM] telah tersebar di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, sejak awal tahun 1980-an. Pada awalnya fokus utamanya adalah pada berbagai terapi rehabilitasi dan respon medis. Tetapi kemudian konsep RBM semakin diartikan sebagai upaya untuk mempromosikan hak-hak asasi dan meningkatkan kesamaan kesempatan dan inklusi penuh bagi para penyandang ketunaan. Oleh karena itu, dukungan bagi anak-anak penyandang ketunaan agar mendapatkan akses ke pendidikan menjadi komponen yang alami dari RBM.
Keuntungan memPromosikan pendidikan inklusif dari Sudut Pandang RBM adalah:
  • Adanya hubungan yang erat antara keluarga, masyarakat dan sekolah;
  • Anak secara penuh didukung dengan alat bantu dan terapi yang tepat untuk meningkatkan keberfungsiannya;
  • Adanya dukungan yang berkesinambungan dari pekerja RBM.

Kelemahan mempromosikan pendidikan inklusif hanya dari sudut pandang RBM meliputi:
  • Fokus terletak pada individu anak, bukan pada sistem – skala dampaknya terbatas.
  • Sering tergantung pada niat baik dari satu atau dua orang guru; jika gurunya diganti/pindah, inklusi terhenti.
  • Anak penyandang ketunaan yang berat dianggap “tidak siap” untuk inklusi – lagi-lagi, anak yang disesuaikan dengan sistem, bukan sebaliknya.
  • Guru belum tentu belajar cara mengembangkan metodologi yang berfokus pada anak.
  • RBM mempromosikan pengintegrasian individu anak tetapi tidak mengembangkan sistem inklusi penuh. 

Terdapat juga berbagai metodologi pendidikan non formal dan informal yang sangat berhasil dalam memberikan pembelajaran yang efektif dan relevan dengan konteksnya. Ini mencakup metode pembelajaran antarteman, kelas melek huruf untuk orang dewasa, program untuk anak jalanan dan untuk kelompok-kelompok perempuan. Pendekatan ini dapat merupakan pengaruh yang kuat untuk mempromosikan inklusi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan memberikan metodologi yang benar-benar mempromosikan partisipasi.

10. Kegagalan dan Keberhasilan
Baik sekolah reguler yang kaku maupun sekolah khusus yang segregasi telah gagal dalam mempromosikan hak-hak anak secara holistik dan dalam memberikan pendidikan berkualitas yang relevan dan tepat untuk semua anak. “Salamanca 5 tahun”, dalam Kajian tentang Aktifitas UNESCO, yang diterbitkan pada tahun 1999, memperingatkan bahwa pendidikan luar biasa sering kali mengarah pada eksklusi:
“Walaupun maksudnya sangat baik, sering kali hasilnya (dari program khusus, institusi khusus, guru khusus) adalah eksklusi; diferensiasi sering menjadi suatu bentuk diskriminasi, membiarkan anak berkebutuhan khusus di luar kehidupan sekolah biasa dan kemudian menjadi orang dewasa yang berada di luar kehidupan masyarakat sosial dan budaya pada umumnya.”
Di negara-negara miskin, penyelenggaraan sekolah luar biasa bukan merupakan pendekatan yang ekonomis untuk memenuhi kebutuhan khusus anak penyandang ketunaan, dan inklusi sering kali dipandang sebagai ‘pilihan yang murah’ tetapi akhirnya disadari sebagai ‘pilihan yang lebih baik’. Unit kecil yang dikaitkan dengan sekolah reguler sering dipandang sebagai suatu bentuk ‘inklusi’ tetapi memiliki banyak kelemahan dan mengarah pada eksklusi – yang akan dibahas secara lebih rinci kemudian.
Lebih positif dari pada memfokuskan pada kegagalan sistem lama adalah menelaah contoh-contoh keberhasilan yang bertambah setiap harinya dari berbagai konteks dan budaya. Semuanya ini merupakan contoh yang nyata bagaimana sumber daya, sikap dan hambatan institusi terhadap inklusi dapat diatasi. Beberapa contoh tersebut meliputi:
  • Anak penyandang ketunaan intelektual diinklusikan dalam sistem pendidikan umum di TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (Inggris).
  • Anak penyandang ketunaan diinklusikan di sekolah dengan jumlah anak lebih dari 100 orang per kelas (Lesotho)
  • Anak penyandang ketunaan diinklusikan di sekolah-sekolah di lingkungan masyarakat termiskin di dunia (Douentza, Mali).
  • Transformasi sistem yang kaku menjadi metodologi yang fleksibel yang berfokus pada diri anak (Cina)
  • Peningkatan mutu sekolah yang mengarah pada pendidikan inklusif dalam level pelatihan guru (Laos)

11. Ringkasan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Pendidikan Inklusif
Semua faktor yang dibahas di atas berpengaruh pada perkembangan pendidikan inklusif. Semuanya memberikan kekuatan dan tantangan sebagai berikut:
Pengaruh
Kekuatan
Kelemahan
Gerakan Peningkatan mutu sekolah
Fokus pada pengubahan sistem yang tanggap terhadap keanekaragaman
Masih dapat mengabaikan anak penyandang ketunaan dan kebutuhan khususnya akan akses
Pendidikan luar biasa
Keterampilan dan metodologi khusus untuk memungkinkan anak penyandang ketunaan memiliki akses ke pendidikan
Banyak profesional PLB masih mendukung segregasi dan merasa terancam oleh inklusi
Organisasi Penyandang ketunaan dan Organisasi Orang tua
Memastikan inklusi benar-benar memberikan manfaat kepada anak dan dilengkapi dengan sumber daya yang tepat;
Mempromosikan partisipasi para steakholder
Kelompok yang memperjuangkan hak-hak individu kelompok/anak penyandang ketunaan - tidak memfokuskan pada perubahan jangka panjang;
Tantangan inklusi dan komunitas tunarungu
Pendekatan Berbasis Masyarakat
Mempromosikan hubungan yang erat antara keluarga, masyarakat dan sekolah
Tidak mengubah sistem sendirian, tetapi sangat penting untuk perubahan sistematik top-down yang efektif
Contoh Keberhasilan Inklusi
Menunjukkan bahwa pendidikan inklusif dapat dilaksanakan dalam berbagai konteks dan budaya, dan bahwa hambatan dapat diatasi.
Pendidikan inklusif sangat spesifik konteksnya dan lebih banyak upaya yang harus dilakukan untuk mengambil pelajaran/pedoman dari contoh-contoh ini.


Referesnsi
Ofsted yang dikutip dalam Aincow. 2001.
David Smith. 2006. Inklusif: Sekolah Ramah Untuk Semua. Bandung: Penerbit Nuansa.
Bandi Delphie. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusif. Bandung: PT. Refika Aditama.