SEJARAH PENDIDIKAN INKLUSIF
SEJARAH PENDIDIKAN INKLUSIF
Darimana asal Pendidikan Inklusif?
1. Pengaruh
terhadap Perkembangan Pendidikan Inklusif
Kajian
terhadap dokumen-dokumen internasional dapat memberikan cerminan teoritis
tentang perkembangan pendidikan dan inklusi selama beberapa dasawarsa terakhir
ini. Bab ini akan menelaah bagaimana pengalaman praktis dalam pendidikan
mempunyai pengaruh besar pada perkembangan Pendidikan Inklusif. Pendidikan
Inklusif pada dasarnya merupakan produk perpaduan antara dua pergerakan
pendidikan yang kuat, yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri.
Terkait
dengan kedua pergerakan ini adalah faktor-faktor yang juga berpengaruh yang
meliputi:
- Lobby oleh para aktivis seperti organisasi penyandang ketunaan, kelompok orang tua dan kelompok-kelompok yang mempromosikan akses pendidikan bagi anak perempuan
- Kegagalan sekolah reguler maupun sekolah luar biasa
- Tekanan-tekanan baru terhadap sekolah seperti meningkatnya keberagaman akibat meningkatnya jumlah pengungsi dan orang-orang yang terlantar, HIV/AIDS, pertumbuhan penduduk, kesulitan dalam memberantas kemiskinan, dan meningkatnya situasi konflik
- Program-program rintisan masyarakat seperti kelas melek huruf non-formal dan rehabilitasi berbasis masyarakat
- Meningkatnya jumlah contoh keberhasilan praktek inklusi dalam berbagai budaya dan konteks.
2. Peningkatan
Mutu sekolah di Selatan
Satu
aspek dari promosi tentang 'pendidikan dasar untuk semua’ adalah meningkatkan
jumlah anak yang masuk sekolah - meningkatkan akses. Akan tetapi, sekedar
memasukkan anak ke sekolah itu akan membuang waktu, energi dan sumber-sumber
kecuali jika yang diberikan di sekolah itu benar-benar berguna, relevan bagi
masyarakat, efektif dan memadai. Dengan kata lain, sekolah harus memberikan
pendidikan yang berkualitas. Jika tidak, maka anak akan terus putus sekolah dan
orang tua dan masyarakat tidak akan memprioritaskan pendidikan untuk anaknya.
Sayangnya, sejumlah besar sekolah memberikan kualitas pendidikan yang buruk
meskipun semua aktifitas yang mengatasnamakan “peningkatan mutu sekolah”
berusaha meningkatkan kualitas pendidikan untuk semua anak.
Gambar : Peningkatan mutu sekolah di Selatan
Masalah
|
Solusi
|
Pengajaran
yang buruk, terlalu kaku, pelatihan dengan kualitas dan kuantitas yang buruk,
tidak responsif terhadap kebutuhan anak.
|
Guru
pendukung agar menjadi guru yang aktif dan reflektif: pada tingkat
masyarakat, dalam pelatihan tingkat awal, dan dengan in-service training yang
relevan dan berbasis daerah setempat.
|
Anak
pasif-tidak didorong untuk belajar aktif. Kelas terlalu padat. Banyak yang
tersisihkan dan putus sekolah.
|
Mengembangkan
hubungan yang erat antara sekolah, rumah dan masyarakat, menggunakan metode
partisipatori. Mendukung kelompok-kelompok masyarakat sipil.
|
‘Melek
huruf’ dan keterampilan dasar tidak diajarkan secara memadai
|
Meningkatkan
penggunaan metode mengajar yang berpusat pada diri anak dan cara belajar
siswa aktif, melibatkan anak dalam menciptakan solusi.
|
Sekolah
tidak relevan dengan kehidupan di masyarakat – tidak berkaitan dengan
tantangan hidup yang sesungguhnya
|
Menciptakan
sistem yang fleksibel yang mampu beradaptasi dan mengelola perubahan, dengan
dukungan jaringan yang luas. Mengadaptasikan sistem dengan anak, bukan anak
dengan sistem.
|
Sistem
yang kaku dan tidak tepat, yang diwariskan dari jaman penjajahan dan
disesuaikan dengan tuntutan pihak donor
|
Belajar
dari keberhasilan proses pendidikan nonformal/informal. Membuat kurikulum
yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan menawarkan kesempatan yang lebih
luas.
|
Tidak
dapat merespon terhadap tekanan temporer: situasi konflik, pengungsi,
melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin, HIV/AIDS
|
Melibatkan
masyarakat, LSM dan pemerintah setempat dalam memperbaiki dan menciptakan
infrastruktur yang memadai.
|
Kurangnya
infrastruktur fisik: bangunan, materi; kurangnya akses ke fasilitas air dan
sanitasi
|
|
Masalah-masalah
yang mempengaruhi sekolah terkait erat dengan kemiskinan dan kesenjangan global
yang berkepanjangan, hutang, konsekuensi kolonialisme2, dampak
kebijakan penyesuaian struktural, sangat meningkatnya instabilitas, konflik dan
penduduk yang terusir, serta epedemi HIV/AIDS. Namun ada peningkatan jumlah
inisiatif yang mencerminkan respon kreatif terhadap masalah ini. Inisitif
peningkatan mutu sekolah ini telah menghasilkan istilah – yang dibuat oleh Save
the Children UK – “Sistem Sekolah yang
Responsif” yang memiliki karakteristik sbb:
- inklusif, tanggap terhadap kebutuhan semua anak di masyarakat;
- memiliki sumber daya yang memadai, dengan sumber pembiayaan dari pemerintah dan donor dengan proporsi yang seimbang;
- menyediakan pendidikan berkualitas yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak.
3. Peningkatan
mutu sekolah di Utara
Di
negara-negara di Utara, sekolah juga menghadapi makin banyak tekanan dan
konflik, mengakibatkan semakin banyaknya eksklusi siswa, kurikulum yang terlalu
membebani, guru mengalami stres dan prestasi siswa rendah. Di samping itu terdapat
semakin banyak tantangan sehubungan dengan keberagaman kebutuhan siswa – siswa
dari kaum minoritas linguistik dan etnis serta anak pengungsi, dan meningkatnya
tekanan untuk menginklusikan anak dengan berbagai ketunaan.
Walaupun
sekolah-sekolah di Utara mengeluh tentang kurangnya sumber-sumber daya, tetapi
ini tidak dapat dibandingkan dengan kondisi kemiskinan yang parah di Selatan,
di mana kurangnya sumber daya berarti kurangnya akses terhadap air, makanan,
perumahan, dan bahan-bahan lainnya. Tetapi ada kesamaan masalah dalam hal
eksklusi dan inklusi. Di Inggris, mereka yang terlibat dalam program
peningkatan mutu sekolah telah mencoba mengatasi masalah ini selama beberapa
dekade terakhir ini.
Sebuah
proyek yang disebut Peningkatan Mutu
Pendidikan untuk Semua telah menjadi ujung tombak reformasi selama dekade
terakhir ini. Ini menekankan pada prinsip-prinsip berikut:
- mengembangkan visi sekolah yang kolaboratif
- memandang tekanan eksternal sebagai suatu kesempatan untuk mengatur ulang prioritas
- menciptakan kondisi bagi SEMUA anak untuk belajar
- mengembangkan struktur untuk kolaborasi dan pemberdayaan individu maupun kelompok
- mengembangkan tanggung jawab kolektif untuk monitoring dan evaluasi.
4. Implikasi
Peningkatan mutu sekolah terhadap Pendidikan Inklusif
Solusi
yang diajukan pada bagian 2.2. dan prinsip-prinsip utama yang disebutkan di
atas semua membangun linkungan dan kondisi yang diperlukan demi berhasilnya
inklusi. Ini karena dalam kenyataannya, suatu sekolah yang tidak baik untuk
SEMUA anak itu pasti tidak akan bagi anak penyandang ketunaan ataupun anak
termarjinalisasi lainnya. Itu sebabnya inklusi bukan hanya mengenai
"memasukkan" anak penyandang ketunaan ke dalam sistem yang kaku,
bukan tentang cara mengadaptasikan anak dengan sistem, tetapi mengadaptasikan
sistem dengan SEMUA anak. Dengan membuat
sistem sekolah benar-benar responsif terhadap anak sebagai anggota masyarakat,
maka sistem sekolah itu juga pasti akan lebih
mampu merespon terhadap anak penyandang ketunaan.
Jadi,
bila suatu sekolah atau masyarakat melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk
menginklusikan anak penyandang ketunaan dan berhasil, proses ini sering
berfungsi sebagai cara untuk meningkatkan mutu sekolah. Guru harus terpusat pada anak, kurikulum harus fleksibel, masyarakat dan orang
tua harus dilibatkan.
5. Pendidikan
Kebutuhan Khusus di Utara
Istilah
“kebutuhan khusus” dan “kebutuhan pendidikan khusus” sering dipergunakan tanpa
definisi yang pasti. Di negara-negara Utara, istilah tersebut mulai sering
dipergunakan pada tahun 1970-an. “Warnock Report” tahun 1978 menekankan bahwa
20% anak memiliki kebutuhan khusus tertentu pada suatu waktu di masa
sekolahnya, dan anak-anak ini bersekolah
di sekolah-sekolah reguler. Laporan tersebut juga menekankan pentingnya
menggunakan istilah “anak berkebutuhan pendidikan khusus” daripada “anak cacat”
atau istilah lain yang serupa. Awalnya ini merupakan gerakan yang positif,
karena fokusnya bergeser dari karakteristik fisik anak ke kebutuhan
pendidikannya. Tetapi sayangnya arti awal istilah ini hilang, dan istilah
“khusus” dipergunakan sebagai label pada individu anak. Bahkan Mary Warnock,
yang menyusun draft laporan tersebut kemudian menyayangkan penggunaannya:
“Konsep ‘kebutuhan khusus’ mengandung objektifitas yang
semu. Karena salah satu kesulitan yang terbesar adalah menentukan kebutuhan
siapa yang khusus itu atau apakah arti ‘khusus’ itu”.
UNESCO
pada awalnya mendefinisikan pendidikan khusus sebagai pendidikan yang ditujukan
pada para penyandang ketunaan. Dalam pernyataan Salamanca, istilah tersebut
lebih sejalan dengan Warnock Report dan dipergunakan untuk mencakup tidak hanya
anak penyandang ketunaan tetapi semua anak yang kebutuhannya muncul akibat
‘kesulitan belajar’.
Dalam
kaitannya dengan anak penyandang ketunaan, istilah kebutuhan khusus sering
membingungkan. Banyak anak penyandang ketunaan tidak memiliki kebutuhan
pendidikan khusus – mereka mungkin membutuhkan alat bantu dan lingkungan yang
aksesibel atau peralatan khusus untuk membantu mereka mengakses kurikulum umum,
tetapi mereka sesungguhnya tidak memiliki kesulitan dalam belajar. Di pihak
lain, ada banyak anak yang tidak memiliki ketunaan, tetapi mengalami kesulitan
dalam belajarnya – tak dapat disangkal kita semua juga mengalaminya pada bidang
tertentu pada waktu tertentu.
Rusia dan Eropa Timur: di
negara-negara ini telah berkembang suatu model lain yang didasarkan pada model
medis dan menghasilkan teori dan praktek ‘defectology’. Pendekatan berbasis profesi medis ini masih memiliki pengaruh
yang kuat di negara-negara yang sedang dalam masa transisi dari komunisme.
6.Pendidikan
Kebutuhan Khusus di Selatan
Literatur
tentang pendidikan anak penyandang ketunaan di "Selatan” relatif masih
jarang dan isinya dapat menyesatkan:
“Pada umumnya,
literatur tersebut lemah dalam hal reliabilitas dan relevansi data, memuat
konsep-konsep yang tidak diakui dan tidak dikritisi dan bias budaya.
Kesenjangan utamanya adalah dalam hal diskusi mengenai partisipasi, pengetahuan
dan keterampilan lokal, sumber pengaruh dan evaluasinya. Secara keseluruhan, literatur
tersebut didominasi oleh sekelompok kecil elit.”
Kebijakan
dan praktek pendidikan khusus di sana telah diimpor dan diekspos oleh pihak
donor, atau diperkenalkan oleh kaum elit dari negara tersebut yang memilih
untuk meniru hal-hal yang dipraktekkan di Utara.
“Negara-negara Afrika, terlepas dari kebijakan pendidikan
yang telah ditetapkan oleh pemerintahnya, pada dasarnya telah membiarkan
pendidikan khusus mengikuti ‘hembusan angin’ yang ditiupkan oleh para pencetus
ide dari luar”.
Meskipun
maksudnya mungkin baik, tetapi pada prakteknya mengakibatkan bencana:
- Menyingkirkan anak penyandang ketunaan dari sekolah reguler dan masyarakatnya
- Memberi label berdasarkan hasil tes psikologi yang dikembangkan dunia barat (yang tidak dapat ditransfer secara budaya)
- Pendirian sekolah khusus sering kali digunakan sebagai tempat pembuangan untuk anak; kurang sumber daya dan guru yang memiliki latar belakang pendidikan khusus
- Pendirian sekolah khusus elit dengan sumber daya yang baik, yang hanya melayani sejumlah kecil anak, dalam konteks di mana hampir tidak ada infrastruktur dasar untuk pendidikan.
- Menghapuskan sistem pendukung lokal dan menggantikannya dengan sistem pendukung ‘profesional’ yang tidak dapat bertahan lama.
Penulis
dan peneliti seperti Joseph Kisanji dan Mike Miles banyak mengulas tentang
praktek ‘customary education’ dan 'casual integration’, yang sering tidak
hanya diabaikan tetapi juga dihapuskan akibat diterapkannya kebijakan dan
praktek yang diimpor dari Barat. Di antara praktek-praktek lokal terdapat
contoh-contoh berikut:
- Anak penyandang ketunaan belajar di sekolah biasa
- Tutor teman sebaya
- Pendidikan lokal yang terdesentralisasi
- Struktur yang fleksibel dan kurikulum yang relevan.
Di
samping itu, di banyak masyarakat dan budaya, terdapat sejarah panjang tentang
penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan kategori ketunaan tertentu,
khususnya anak tunanetra.
7. Pengaruh pergerakan
Pendidikan Kebutuhan Khusus terhadap Inklusi
Banyak
pencetus dan pejuang inklusi pada awalnya adalah pendukung kuat pendidikan
khusus. Lambat laun mereka mulai menyadari keterbatasan dan kekurangan filosofi
dan praktek pendidikan kebutuhan khusus. Namun, terdapat banyak pelajaran dan
keterampilan positif yang dipelajari oleh mereka yang terlibat dalam pendidikan
kebutuhan khusus yang berkualitas:
- Pengajaran kreatif yang berfokus pada anak yang tanggap terhadap gaya belajar individu
- Pendekatan holistik kepada anak, yang berfokus pada semua bidang kemampuannya
- Hubungan erat antara keluarga dan sekolah, dan keterlibatan orang tua yang sangat aktif
- Pengembangan teknologi dan peralatan khusus untuk memfasilitasi akses ke pendidikan dan membantu mengatasi hambatan belajar.
Banyak
di antara hal-hal tersebut sejalan dengan ‘solusi’ terhadap tantangan
peningkatan mutu sekolah. Di samping itu, keahlian khusus untuk memberdaayakan
anak penyandang ketunaan untuk mengakses kurikulum atau mengembangkan
keterampilan dasar belajar merupakan hal yang sangat penting bagi pengembangan
Pendidikan Inklusif untuk SEMUA. Dalam konteks pendidikan inklusif, peran
profesional pendidikan khusus bergeser dari peran guru menjadi nara sumber –
yang memfokuskan pada penghapusan hambatan dalam sistem, bukan pada
'memperbaiki’ individu anak.
8. Kelompok-kelompok
Advokasi dan Kampanye Hak Asasi
Pergerakan
Hak Asasi Penyandang ketunaan merupakan pergerakan yang relatif muda
dibandingkan pergerakan -pergerakan hak asasi sipil lainnya. Tetapi terutama di
negara-negara Selatan, misalnya di Afrika bagian selatan, organisasi penyandang
ketunaan [OPC] semakin terorganisasi dan vokal selama beberapa dekade terakhir
ini. Banyak di antara pemimpin pergerakan ini mengalami ketunaan sesudah dewasa
atau telah memperoleh pendidikan dari sekolah khusus elit sebagaimana dibahas
di atas. Dalam banyak hal, pergerakan penyandang ketunaan pada umumnya tidak
memiliki kesamaan sikap terhadap Pendidikan Inklusif. Masih banyak penyandang
ketunaan dan OPC yang tidak setuju dengan sekolah inklusif dan ingin terus
mempromosikan pendidikan khusus, terutama di negara-negara Utara. Organisasi
penyandang tunarungu dan tunarungu-netra mengemukakan isu yang sangat spesifik
bila menyatakan keberatannya terhadap inklusi.
Banyak
keberatan yang diajukan terhadap inklusi cukup dapat dipahami karena didasarkan
pada pemahaman tentang inklusi yang sempit, yang memfokuskan pada memasukkan
anak penyandang ketunaan ke dalam sistem yang kaku, tanpa memberikan akses yang
sama untuk belajar atau tidak menyediakan sumber daya dan dukungan yang tepat.
OPC khususnya di negara-negara Selatan sering kali berfungsi sebagai
katalisator untuk pendidikan inklusif akibat lobbying yang dilakukan untuk
membela hak-hak para penyandang ketunaan.
Di Lesotho (Afrika bagian Selatan),
Federasi Organisasi Penyandang ketunaan Lesotho (LNFOD) merupakan pembela yang
kuat dan vokal untuk hak-hak penyandang ketunaan dan berperan besar dalam
membantu melobi pemerintah untuk membuat kebijakan pendidikan inklusif. Dalam
merintis program tersebut, LNFOD memberikan kontribusi dalam pengembangan
kurikulum pendidikan guru dan memberikan in-service
training dan melaksanakan program peningkatan kesadaran/sosialisasi.
Organisasi orang tua juga
berpengaruh besar terhadap perkembangan Pendidikan Inklusif. Di negara-negara
Utara, orang tua sering kali menjadi perintis yang paling radikal:
Di london (Inggris), satu orang tua anak penyandang Downs
Syndrome menjadi ketua Komite Pendidikan lokal dan berhasil dalam kampanyenya
untuk menutup semua sekolah luar biasa di daerahnya, yang dia gambarkan sebagai
suatu ‘bentuk apartheid’. Wilayah ini kini merupakan salah satu daerah yang
paling terkemuka dalam pendidikan inklusif di Inggris.
Di
negara-negara Selatan, orang tua sering terjebak dalam lingkaran kemiskinan,
isolasi dan tugas pengasuhan, yang menyisakan sedikit sekali waktu untuk
berorganisasi, tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini telah terdapat
peningkatan organisasi orang tua yang kuat yang memperjuangkan hak anak-anaknya
agar diinklusikan di sekolah reguler.
Secara
singkat, baik organisasi penyandang ketunaan maupun organisasi orang tua telah
memberikan kontribusi pada perkembangan pendidikan inklusif sebagai berikut:
- Mendesak agar inklusi didukung dengan sumber-sumber yang sesuai dengan kebutuhan;
- Meningkatkan partisipasi aktif para penyandang ketunaan dan orang tua dalam pengembangan kebijakan dan praktek pendidikan;
- Memperjuangkan hak anak penyandang ketunaan untuk bersekolah bersama-sama dengan teman-teman sebayanya dan tidak didiskriminasikan;
- Adanya model orang dewasa yang positif.
Para Penyelenggara Kampanye Hak Anak. Ketika
Konvensi Hak Anak PBB sudah diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia,
muncullah berbagai pergerakan advokasi hak anak untuk mempromosikan inklusi dan
mencegah diskriminasi di dalam sistem pendidikan. Para aktifis hak anak
membentuk persekutuan yang kuat dengan pergerakan Penyandang ketunaan dan Orang
tua.
9. Pengaruh Pendekatan Berbasis Masyarakat
Program
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat [RBM] telah tersebar di seluruh dunia,
terutama di negara-negara berkembang, sejak awal tahun 1980-an. Pada awalnya
fokus utamanya adalah pada berbagai terapi rehabilitasi dan respon medis.
Tetapi kemudian konsep RBM semakin diartikan sebagai upaya untuk mempromosikan
hak-hak asasi dan meningkatkan kesamaan kesempatan dan inklusi penuh bagi para penyandang
ketunaan. Oleh karena itu, dukungan bagi anak-anak penyandang ketunaan agar
mendapatkan akses ke pendidikan menjadi komponen yang alami dari RBM.
Keuntungan memPromosikan pendidikan inklusif dari Sudut
Pandang RBM adalah:
- Adanya hubungan yang erat antara keluarga, masyarakat dan sekolah;
- Anak secara penuh didukung dengan alat bantu dan terapi yang tepat untuk meningkatkan keberfungsiannya;
- Adanya dukungan yang berkesinambungan dari pekerja RBM.
Kelemahan mempromosikan pendidikan inklusif hanya dari
sudut pandang RBM meliputi:
- Fokus terletak pada individu anak, bukan pada sistem – skala dampaknya terbatas.
- Sering tergantung pada niat baik dari satu atau dua orang guru; jika gurunya diganti/pindah, inklusi terhenti.
- Anak penyandang ketunaan yang berat dianggap “tidak siap” untuk inklusi – lagi-lagi, anak yang disesuaikan dengan sistem, bukan sebaliknya.
- Guru belum tentu belajar cara mengembangkan metodologi yang berfokus pada anak.
- RBM mempromosikan pengintegrasian individu anak tetapi tidak mengembangkan sistem inklusi penuh.
Terdapat
juga berbagai metodologi pendidikan non formal dan informal yang sangat
berhasil dalam memberikan pembelajaran yang efektif dan relevan dengan
konteksnya. Ini mencakup metode pembelajaran antarteman, kelas melek huruf
untuk orang dewasa, program untuk anak jalanan dan untuk kelompok-kelompok
perempuan. Pendekatan ini dapat merupakan pengaruh yang kuat untuk
mempromosikan inklusi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan memberikan
metodologi yang benar-benar mempromosikan partisipasi.
10. Kegagalan dan Keberhasilan
Baik
sekolah reguler yang kaku maupun sekolah khusus yang segregasi telah gagal
dalam mempromosikan hak-hak anak secara holistik dan dalam memberikan
pendidikan berkualitas yang relevan dan tepat untuk semua anak. “Salamanca 5 tahun”, dalam Kajian tentang Aktifitas
UNESCO, yang diterbitkan pada tahun 1999, memperingatkan bahwa pendidikan
luar biasa sering kali mengarah pada eksklusi:
“Walaupun maksudnya sangat baik, sering kali hasilnya
(dari program khusus, institusi khusus, guru khusus) adalah eksklusi;
diferensiasi sering menjadi suatu bentuk diskriminasi, membiarkan anak
berkebutuhan khusus di luar kehidupan sekolah biasa dan kemudian menjadi orang
dewasa yang berada di luar kehidupan masyarakat sosial dan budaya pada umumnya.”
Di
negara-negara miskin, penyelenggaraan sekolah luar biasa bukan merupakan
pendekatan yang ekonomis untuk memenuhi kebutuhan khusus anak penyandang
ketunaan, dan inklusi sering kali dipandang sebagai ‘pilihan yang murah’ tetapi
akhirnya disadari sebagai ‘pilihan yang lebih baik’. Unit kecil yang dikaitkan
dengan sekolah reguler sering dipandang sebagai suatu bentuk ‘inklusi’ tetapi
memiliki banyak kelemahan dan mengarah pada eksklusi – yang akan dibahas secara
lebih rinci kemudian.
Lebih
positif dari pada memfokuskan pada kegagalan sistem lama adalah menelaah
contoh-contoh keberhasilan yang bertambah setiap harinya dari berbagai konteks
dan budaya. Semuanya ini merupakan contoh yang nyata bagaimana sumber daya,
sikap dan hambatan institusi terhadap inklusi dapat diatasi. Beberapa contoh
tersebut meliputi:
- Anak penyandang ketunaan intelektual diinklusikan dalam sistem pendidikan umum di TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (Inggris).
- Anak penyandang ketunaan diinklusikan di sekolah dengan jumlah anak lebih dari 100 orang per kelas (Lesotho)
- Anak penyandang ketunaan diinklusikan di sekolah-sekolah di lingkungan masyarakat termiskin di dunia (Douentza, Mali).
- Transformasi sistem yang kaku menjadi metodologi yang fleksibel yang berfokus pada diri anak (Cina)
- Peningkatan mutu sekolah yang mengarah pada pendidikan inklusif dalam level pelatihan guru (Laos)
11. Ringkasan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Pendidikan Inklusif
Semua faktor
yang dibahas di atas berpengaruh pada perkembangan pendidikan inklusif.
Semuanya memberikan kekuatan dan tantangan sebagai berikut:
Pengaruh
|
Kekuatan
|
Kelemahan
|
Gerakan
Peningkatan mutu sekolah
|
Fokus
pada pengubahan sistem yang tanggap terhadap keanekaragaman
|
Masih
dapat mengabaikan anak penyandang ketunaan dan kebutuhan khususnya akan akses
|
Pendidikan
luar biasa
|
Keterampilan
dan metodologi khusus untuk memungkinkan anak penyandang ketunaan memiliki
akses ke pendidikan
|
Banyak
profesional PLB masih mendukung segregasi dan merasa terancam oleh inklusi
|
Organisasi
Penyandang ketunaan dan Organisasi Orang tua
|
Memastikan
inklusi benar-benar memberikan manfaat kepada anak dan dilengkapi dengan
sumber daya yang tepat;
Mempromosikan
partisipasi para steakholder
|
Kelompok
yang memperjuangkan hak-hak individu kelompok/anak penyandang ketunaan -
tidak memfokuskan pada perubahan jangka panjang;
Tantangan
inklusi dan komunitas tunarungu
|
Pendekatan
Berbasis Masyarakat
|
Mempromosikan
hubungan yang erat antara keluarga, masyarakat dan sekolah
|
Tidak
mengubah sistem sendirian, tetapi sangat penting untuk perubahan sistematik
top-down yang efektif
|
Contoh
Keberhasilan Inklusi
|
Menunjukkan
bahwa pendidikan inklusif dapat dilaksanakan dalam berbagai konteks dan
budaya, dan bahwa hambatan dapat diatasi.
|
Pendidikan
inklusif sangat spesifik konteksnya dan lebih banyak upaya yang harus
dilakukan untuk mengambil pelajaran/pedoman dari contoh-contoh ini.
|
Referesnsi
Ofsted yang dikutip dalam Aincow.
2001.
David Smith. 2006. Inklusif: Sekolah Ramah Untuk Semua.
Bandung: Penerbit Nuansa.
Bandi Delphie. 2006. Pembelajaran
Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusif. Bandung: PT. Refika
Aditama.
0 komentar:
Posting Komentar